Jumat, 28 Juli 2017

#DearWonosobo


Surat untuk wonosobo
Ndeso, plosok,  dan tertinggal.
Begitulah mindset sebagian orang luar kota dalam menilai wonosobo.  Wonosobo adalah  daerah berkembang,  dengan letak  geografis  paling tengah di provinsi jawa tengah,  di apit dua gunung sindoro dan sumbing,  menjadikan "wong gunung"  adalah stempel umum.
Merujuk pada sudut pandang orang-orang dulu &  khususnya masyarakat perkotaan,  Julukan wong gunung memiliki makna bahwa penduduk wonosobo adalah manusia  kurang wawasan, dan serba tertinggal dalam  berbagai hal.
Begitulah kesimpulan saya menangkap berbagai opini  orang dari luar daerah. 
Meskipun demikian sebagai pribumi murni asli kelahiran kota dingin ini, saya amat bangga bisa bertumbuh kembang disini,  selain jauh dari hiruk pikuk sumpeknya perkotaan,  tumbuh besar sebagai orang ndeso dan gunung adalah suatu anugerah,  meski di pandang sebelah mata,  namun  semangat gotong royong masih begitu mendarah daging di dalam setiap individu penduduknya, kearifan lokal masih begitu kuat,  tak sekedar menjadi embel-embel semata,  dan mayoritas perilaku seperti di atas di anut sebagian besar masyarakatnya.
Seiring berjalanya waktu dan perkembangan zaman, wonosobo mulai bertransformasi, merubah diri.  Bersamaan dengan berkembangnya teknologi dan mudahnya informasi,  lewat media sosial  wonosobo menjadi kian mudah untuk dikenal .
Dengan dieng sebagai andalan,  serta perbukitan dan lembah-lembah yg cantik di sekitarnya,  membuat wonosobo sebagai tujuan pariwisata yg mempesona.
Belum lagi sindoro,  sumbing,  dan juga prau yg makin hari semakin di minati oleh kaum pendaki,  menjadikan kabupaten wonosobo sebagai daerah yang cukup menyedot perhatian para wisatawan lokal maupun luar kota untuk mendatangi kota dengan julukan asri ini. 
Kabupaten kecil yg dulu di pandang sebelah mata oleh  para penduduk non gunung, kini di sanjung, menjadi primadona, di kagumi objek pariwisatanya dengan potensi alam sebagai kebanggaanya. 
Dan akhirnya terbukti bahwasanya sesuatu yang Tuhan ciptakan selalu mendatangkan manfaat,  gunung yang dulu di asingkan, kini membawa keberkahan.
Jalan rejeki yang spesial diberikan Tuhan untuk wonosobo dari sektor pariwisata.
Dari fenomena  sosial media yang menyebarluaskan keindahan pariwisata wonosobo,  banyak lapisan masyarakat yg mendapat imbas positifnya.
salah satunya melalui kuliner, mie ongklok sebagai makanan  khas ikut terangkat namanya.  
carica yang menjadi ladang bisnis baru, buah langka yg menjadi ciri khas, untuk para pengunjung bawa pulang sebagai buah tangan.

Namun ada yang harus di stereotip dari kemajuan kota ini.
Yaitu soal sampah yg makin kesini semakin tidak terkontrol,  wisata alam seakan menjadi tempat sampah raksasa yang di lakukan oleh "banyak"  oknum yg tidak mengamalkan ilmu dari bangku pendidikan.
Pemandangan tidak sedap merusak citra pariwisata,  mengaburkan pemandangan indah yg seakan berkata bahwa tidak seharusnya untuk bangga.
Papan peringatan hanya menjadi pelengkap tanpa di indahkan,  di foto dan di unggah sebagai ajang eksistensi diri tanpa mau memahami subtansi.
Miris sekaligus risih,  melihat tingkah manusia di era modern yang mengagungkan kemajuan teknologi namun memperkosa alam sendiri, seakan alam bukan mahluk hidup yang dengan seenaknya bisa di  eksploitasi tanpa batas.
Bagaimana bila ia murka? Mau lari kemana?  Merengek memohon perlindungan pada Tuhan sebagai pencipta alam setelah miliknya di rusak di dzalimi?
Semoga kedepanya ada regulasi yg tegas dan optimal dalam melindungi alam,  bukan sekedar himbauan,  tidak hanya larangan,  namun peraturan yg menggunggah hati para pengunjung  untuk tidak apatis dan semena-mena dalam memperlakukan alam. 
Namun terkesan sok suci  bilamana hanya menyalahkan sampah ditempat pariwisata,  padahal di desa-desa dan berbagai penjuru plosok wonosobo hari ini sedang krisis kesadaran terhadap lingkungan,   sungai di lereng gunung yang dulu terkenal dengan kejernihan airnya kini bak jalur sampah yang  di aminkan secara berjamaah.
di penuhi sampah dan kotoran manusia,  mengganggu indra penglihatan dan pembau ketika melintasinya.
sungai dulu multifungsi, selain sebagai irigasi,  namun juga tempat untuk anak-anak bermain mandi di kali  menghabiskan masa kecilnya yang indah.
Sebuah kebahagiaan yg terpaksa di tiadakan oleh keadaan yg memang sangat tidak layak untuk kesehatan. 
Dalam hal ini nurani saya menyalahkan pemerintah,  kemajuan dalam infrakstuktur seperti  pelebaran jalan dan pembangunan di giatkan,  namun kebersihan lingkungan di anak tiri kan.
Masyarakat tidak kurang sosialisasi, sebenarnya mereka sadar adalah sebuah kesalahan ketika membuang sampah di jembatan, mereka terpaksa melakukanya karna tidak adanya fasilitas truk ataupun mobil sampah yg mengangkut dari wilayah mereka untuk di buang ke TPA.
Mau di bakar udara akan tercemar,  mau di timbun volume sampah yg di hasilkan tiap harinya begitu besar,  sehingga sangat tidak ramah terhadap lingkungan. 
Mau sampai kapan akan begini?
Menunggu sungai di wonosobo hitam pekat seperti di daerah kota industri?
Menunggu datangnya banjir dan diberi nama bencana?
Kepada para pejabat, kalian adalah wakil,  di titipkan suara rakyat untuk di wujudkan mimpi-mimpinya,  di sejahterakan kehidupanya,  tidak melulu di faktor ekonomi,  ada yg terlihat lebih sederhana namun sangat bermakna,  adalah terciptanya wonosobo yg kembali pantas untuk di sebut ASRI.
Dirgahayu wonosobo ku ke 192,  bawa pulang kembali mahkota adipura sebagaimana di masa lalu kita semua pernah bangga memilikinya.




DATANG PAS BUTUHNYA DOANG

Sedikit meluapkan tentang apa yg sudah lama saya resahkan. Menyoal relasi antara manusia dengan manusia Tentang realitas yang banyak terj...