Sabtu, 20 Oktober 2018

Wanita Malam Itu (Wonosobo Undercover)


Masih terlalu pagi bagi lelapku untuk diinterupsi oleh sebuah keributan. Terlalu pagi bahkan ketika embun belum menyelesaikan tugasnya.
"Tidak akan masuk surga, orang yang mengganggu ketentraman tetangganya!"
Kutuk batinku setelah mendengar suara makian dari luar rumah.
Prrraaaangg! Suara botol pecah terdengar nyaring diiringi jeritan seorang wanita.
Aku bergegas keluar rumah untuk melunasi rasa penasaranku.
Di luar, aku melihat pemandangan yang tak sepantasnya terjadi. Seorang teman sekaligus tetangga sebelah rumahku tengah mencengkeram baju seorang wanita, sedang tangannya yang lain menggenggam pecahan botol yang mungkin baru saja ia benturkan ke tembok, tempat dimana wanita tersebut terpojok.
Di posisikan sebagai saksi mata, kurang layak rasanya jika tak kulerai perbuatan semena-mena temanku yang bernama Arif ini.
Apalagi pagi itu, di beberapa titik hanya ada ibu-ibu yang masih betah saja berperan sebagai penonton.
Dengan sok pahlawan aku merasa berkewajiban untuk maju, setidaknya untuk menjadi pembeda antara aku dengan ibu-ibu itu.
Ku tarik tubuh besar Arif dan memposisikan diri di antara dia dan korbannya.
"Apa masalahmu Rif?" Tanyaku menyelidik.
Ia tak bergeming, matanya masih lurus menatap tajam wanita yang merasa terancam dan ketakutan di belakangku.
Aku percaya ada keraguan dalam dirinya untuk berbuat lebih jauh terhadap korban di belakangku, terbukti ia menurut saja ketika aku menyeret dan mendudukannya di sebuah kursi di depan rumahnya.
"Kenapa?" Tanyaku memaksa.
"Jangan main tangan sama cewelah!” Sambungku ikut duduk di sampingnya.
Bau alkohol cukup jelas tercium oleh hidungku.
"Bukan apa-apa." Jawabnya dingin sembari beranjak masuk ke dalam rumah.
"Aneh." Gerutuku pada punggungnya yang mencampakanku.
Beberapa ibu kulihat mendekat berbicara entah apa dengan si wanita yang sekarang sedang memakai helm di samping sebuah motor matic merk terbaru.
Aku yang sedikit enggan berurusan dengan orang yang tak ku kenal berniat kembali ke rumah.
Beberapa langkah sebelum tangan ku menyentuh gagang pintu, ku lihat sepeda motor wanita malang tadi berlalu di depanku, saat ku lirik ia balas menatapku diiringi senyum simpul
yang kumaknai sebagai rasa terimakasih sudah melerai perkelahiannya dengan Arif.
Tatapannya lesu, sepasang softlens biru muda terlihat kurang cocok menempel di kelopak matanya yang sayu, mengibakan batinku.


Aku terbangun ketika matahari sejajar dengan kepala, lalu memutuskan mandi, menjadi kegiatan yg tak tertulis dalam agenda.
Seusai mandi kucari kopi sachet di rak dapur dan berniat menikmatinya seorang diri.
“Bangun siang, mandi, lalu ngopi, nikmat mana lagi yg harus ku arungi?” Celetukku melawak seorang diri.
Namaku Ronal, menyandang status sebagai pengangguran baru, seorang yang baru saja mengkhianati julukan mahasiswa abadi.
Kurang dari sebulan yang lalu, aku merampungkan pendidikan akuntansi di sebuah universitas di Yogyakarta.
Masuk susah, lulus lebih susah, ditambah kelar wisuda tak langsung dapat kerja.
Maka beginilah sekarang hari-hariku.
Pada sesi adukan kopi sebuah suara mengagetkanku dari belakang.
"Dua sekalian Ron."
Ku toleh ke belakang, ternyata itu Arif, seseorang yang pagi tadi menyuguhkan adegan tidak terpuji. Kupikir jika tadi adalah adegan sinetron, pasti sudah di tegur oleh KPI!
Arif sudah biasa masuk keluar rumahku tanpa permisi, karna kami memang bertetangga persis sejak kecil, meskipun sejatinya kami tak begitu akrab.
"Nggak kerja Rif?" Pertanyaan retoris ku lemparkan sembari menyuguhkan kopi kepadanya yang sedang merokok di kamarku.
"Pengusaha mah bebas hahaha" jawabnya asal.
Aku hanya nyengir mendengar jawaban ngawurnya. Faktanya, dia adalah pengangguran juga sepertiku, bedanya dia anak orang cukup berada yang tanpa kerja masih bisa hidup mewah karena difasilitasi oleh orang tuanya.
"Udah mulai daftar kerja dimana?” Tanya arif datar.
"Belum, niatnya sih di kota sendiri kalau ada lowongan yg cocok" ujarku menimpali.
"Mumpung kamu belum kerja malam minggu ikut keluar ayo? Kita karaoke, hepi-hepi!!" Serunya penuh gairah.
"Wuah aku nggak bisa nyanyi Rif, tau sendiri kan suaraku, nafas aja false, haha." Aku menolak dengan lawakan sebisanya. Padahal sebenarnya, aku enggan karna sering mendengar kabar miring tentang dunia karaoke di jaman sekarang yang sudah di masuki hiburan prostitusi.
"Halah nggak papa, ikut aja di sana nggak harus nyanyi, yang penting bareng temen-temen." Tanggapanya sedikit mendesak.
"Lihat coba ya nanti, kalau nggak ada acara aku usahain ikut gabung.” Jawabku pasrah.
"Ngomong-ngomong Rif, tadi pagi itu siapa yg ribut sama kamu?" Aku mencoba untuk mengganti topik pembicaraan.
"PL bro (pemandu lagu), semalam kita minum bareng terus aku ketiduran ditempatnya. Nah tadi pagi saat nganterin aku pulang, aku ngasih saran ke dia kalau lagi sama pelanggan selain aku nggak perlu mesra-mesraan. Tapi dia membela diri, menjelaskan bahwa apa yg dilakukannya adalah bagian dari profesi, aku yang masih dalam pengaruh alcohol nggak terima dan naik pitamlah dia ngelawan begitu hahaha." Tawa menutup penjelasannya yang menegaskan tak ada rasa bersalah.
"Gimana cantik nggak si Vira?" Cewe tadi pagi itu namanya vira kata Arif.
"Lumayan." jawabku datar.
"Malam Minggu kalo kamu ikut, kita ketemu dia lagi, besok kalo dia udah aku udah transfer duit pasti kita baikan kok hahaha." Paparnya nampak bahagia.
Aku cuek dan mengambil sebatang rokok lalu menyalakannya.
"Kamu baper sama orang yg pekerjaannya..." Aku ragu untuk melanjutkan pertanyaanku.
Arif nampak paham dengan ekspresi wajahku. "Iyalah, aku pelanggan tetap yg paling royal, setidaknya aku punya hak lebih atas dirinya.
Semua yang ia katakan membuatku terkekeh tanpa suara, ia menganologikan wanita yang ia hadapi sebagai boneka yang telah ia beli dan dapat di perbudak semena-mena.

Hanya sebentar Arif dirumahku, ia pergi begitu saja tanpa ucapan terima kasih atas kopi buatanku. Setelah kepergianya, tiduran dan streaming film adalah jalan hidup!
Hari-hari berikutnya masih ku lalui dengan rutinitas yang nyaris tak ada bedanya, bangun siang, maraton film apa saja, dan ronda di berbagai sosial media hingga selarut-larutnya.
Orang tuaku sendiri tak pernah protes dengan kehampaan hidupku, diamnya mereka ku anggap sebagai restu untuk tidak buru-buru langsung terjun ke dalam kehidupan baru.


Sabtu sore enam hari sejak kejadian Arif dan Vira pagi itu, aku tengah duduk di depan layar laptop yg menampilkan kredit title akhir sebuah film. Sempat terpikir ajakan Arif, sepertinya tak ada salahnya mengiyakan ajakan itu nanti malam.
Lagian belum ada kerjaan juga, sudah besar pula, entah kejadian baik atau buruk nanti akan ku hadapi sendiri, hiburku memberi kepercayaan pada diri sendiri.
Sekitar pukul sembilan, bunyi klakson mobil arif mendobrak gendang telingaku.
"Ayo Ron!" Teriaknya terdengar gugup.
Setelah mengenakan jaket denim dan parfum ala kadarnya aku keluar.
"Sama siapa aja kita?" Tanyaku padanya begitu bokongku duduk di kursi penumpang.
"Ricky dan Herman udah di depan, ayo meluncur!" Ujarnya bersemangat bersamaan dengan pedal gas yang ia injak.
"Loh mereka kan sudah beristri?" Tanyaku kaget.
"Biarin dong, yang namanya refreshing mah nggak kenal usia Ron haha." Jawabanya seakan mengamini kelakuan dua orang teman yang sudah berangkat lebih dulu itu.
Enam puluh menit kemudian mobil sejuta umat milik Arif sudah berada di pelataran parkir sempit tempat karaoke. Ricky dan Herman tampak tengah berbincang di depan pintu dengan tiga wanita ketika kami turun dari mobil.
Ketiga wanita tersebut berdandan berlebihan, menggunakan sepatu hak tinggi, dan rok di atas lutut, sebuah pemandangan yang jarang aku lihat.
"Hey mas." Ujar salah satu di antara tiga wanita tersebut saat aku mendekat, yang langsung aku kenali adalah lawan main Arif di sebuah adegan sinetron basi seminggu yang lalu.
Vira ini yang pertama menyalamiku, di hiasi senyum simpulnya, matanya telah berubah jadi hijau, harga softlens sekarang murah, pikirku ketika mata kami bertemu.
"Ronal." Ku ucapkan perkenalan tanpa disuruh. “Vira.” Balas ia singkat.
"Novi." Sosok dengan rambut dicat merah menyala dari samping Vira bergerak maju, lalu kusambut dengan gaya perkenalan yang masih sama.
Perempuan terakhir dengan gincunya yg merah menyala, paling berwajah dewasa di antara mereka bertiga memperkenalkan diri dengan nama Chika.
Dari pengakuan tentang nama yang mereka beri, aku ragu untuk percaya akan keoriginalitasnya.
Setelah sesi perkenalan mereka tampak saling senyum, entah apa artinya.
"Ayo masuk." Seru Arif mengajak kami.
Kami menunggu Chika untuk registrasi dengan duduk di ruang tunggu.
Sebuah bangunan yang sebenarnya ruko, cukup besar, memiliki tiga lantai, bercahaya lampu-lampu temaram namun tetap terang, karna ada lebih dari sepuluh bohlam dalam satu ruangan.
Nampak bapak-bapak yang kutaksir sudah memiliki anak usia SD keluar ruangan untuk membeli minuman di mini bar yg terdapat di samping tempat kami duduk, lalu kembali ke ruangan dengan dua botol minuman beralkohol dalam genggaman.
Di sini aku sudah mulai salah langkah dengan mengiyakan ajakan Arif. Sebuah gaya hidup yang selama ini aku tentang, namun malam ini aku disini bertindak sebagai tamu yang secara langsung ikut melanggengkan bisnis yg di katakan semi kharam.
Ketika tengah asik melamun, lenganku ditinju oleh Ricky dan Herman diikuti tawa mereka berdua.
"Pakai pelet apa ron?" Ledek Herman.
"Bagi-bagi dong," imbuh Ricky sambil merangkulku.
"Aku masih santri seperti yang dulu haha." Balasku menanggapi guyonan mereka yang kurang lucu.
"Sepertinya mereka menyukaimu, pilih salah satu lalu ajak tidur." Seloroh Herman membuatku terkejut.
Sebelum aku jawab dan bertanya kejelasan tentang pernyataanya, aku sudah di buat terheran-heran oleh Vira dan Novi, tanpa canggung keduanya sedang berada dalam rangkulan Arif, sebuah pemandangan yang asing buatku.
Seperti tidak diperbolehkan terheran-heran cukup lama, Chika memberi isyarat mengajak kami semua membuntutinya.
Kami melewati sebuah lorong minim penerangan, bilik-bilik bersekat, hanya lampu kerlip-kerlip sebagai sumber cahaya, anak tangga membawa kami menuju lantai dua. Bilik di sini lebih banyak dari pada di lantai dasar, dan sepertinya lantai paling atas juga sama.
Di lantai dua Chika membawa kami berjalan hingga ujung, lalu masuk ke sebuah ruangan 6x5.
Sofa model setengah lingkaran menyambut kami untuk duduk.
Chika menghidupkan Layar dan setting ini itu, setelah di rasa siap Ricky mengambil mikrofon dari tempatnya dan memilih lagu.
"Are you ready?" Teriak Ricky begitu norak menirukan gaya rock star, ia menggandeng Chika jadi penyanyi pembuka.
Malang sekali istri anaknya di rumah, batinku melihat Ricky berjoget merangkul pundak Chika.
Bagiku semuanya berjalan begitu lama, microfon berkeliling kepada siapa saja yang akan menggilirnya.
Mabuk-mabukan, dan beberapa obat terlarang di minum para pemandu yang kudengar sebagai doping mereka agar tetap kuat bertahan selama berjam-jam.
Tak terasa tiga jam aku berada di tengah pertunjukan omong kosong ini.
Hisapan rokok telah terasa hambar aku keluarkan dari mulutku.
Tak sekalipun aku berminat untuk ikut bernyanyi, alasan mencoba membaur dan berkumpul dengan semua teman dari berbagai golongan menjadi alasanku tetap bertahan.
Disaat suasana hatiku tengah dilanda dilema, ku lirik Vira yang tengah istirahat, beberapa saat kemudian ia tertangkap basah sedang memperhatikanku.
Dia tersipu malu ketika mata kami bertemu. Aku tetap cuek memainkan ponsel keluar masuk menu.
Namun tiba-tiba Vira berpindah merapat di sebelahku, lalu bertanya. "Nggak suka karaoke ya?"
“Iya, nggak suka dan nggak ada minat belajar untuk suka." Bisikku tegas kepadanya.
"Ngerokok di luar yuk!" Ajaknya menarik tanganku.
Sesampainya di luar ia langsung membuka obrolan, "Aku juga nggak suka, bisa karna terbiasa, dan biasa padahal ya terpaksa."
Aku diam tak tau arah pembicaraannya.
“Kamu menikmati pekerjaan ini?” Tanyaku.
"Enggak, kamu orang baik ngapain kesini?" Jidatnya nampak mengkerut.
"Jadi yang kesini nggak ada yang baik? Termasuk yang kerja disini?" Ku balik pertanyaannya.
"Semua juga sudah tau, bukan rahasia lagi bahwa pekerjaan kami di pandang tidak terpuji.” Ia tutup jawaban dengan injakan pada putung rokok mild yang baru habis dihisapnya.
"Aku selalu heran sekaligus tertarik sama orang sepertimu Ron, aku yakin pasti kamu tak tulus hati datang ke sini.” Ucapnya datar dengan tatapan kosong tanpa titik fokus.
“Aku yakin kamu orang baik saat pertama melihatmu melerai pertengkaranku dengan Arif seminggu yang lalu.”
“Aku juga pingin hidup di jalan lurus seperti kamu dan orang normal lainya.” Lanjutnya.
“Lalu kenapa kamu ada disini? Gimana ceritanya? Jujur aku adalah orang yang tak pernah bersinggungan dengan dunia malam, kenakalan ku sebatas mengonsumsi rokok dan pacaran.” Aku bicara begitu antusias ingin tahu terhadap jalan hidupnya.
“Tak banyak orang yang peduli bagaimana kisah kami.” Ia tersenyum kecut seakan ada beban hidup dan masa lalu yang gelap di balik sorot matanya.
Lalu ia mulai berkisah, sebuah kota perbatasan Jateng dan Jabar dari sanalah dirinya berasal.
Terlahir dari keluarga kurang berada, terpaksa membatasinya hanya menjadi lulusan SMP.
Usia muda dan minim pengalaman, membuatnya susah mendapat kerja.
Semenjak lulus sekolah ia sering berkumpul dengan anak-anak yang kurang perhatian dari orang tua di lingkungannya.
Di mulai dari pacaran yang tadinya sekedar bunga asmara bagi remaja seumurannya, ternyata adalah pintu gerbang untuk ia bersinggungan dengan pergaulan bebas, termasuk alkohol merk lokal dan obat-obatan medis murah yg disalahgunakan.
Dari lingkungan itu pula jika malam minggu tiba ada beberapa pria yang mengajaknya karaoke bersama di kotanya.
Karaoke, makan di luar, dan sedikit jalan-jalan berkeliling kota dirasa sangat menyenangkan bagi remaja seumuranya yang haus akan sesuatu yang baru, itu semua dianggap sebagai keberuntungan juga kesempatan.
Saking seringnya berkunjung, ia ditawari oleh seorang penjaga keamanan yang merangkap menjadi agen di tempat karaoke tersebut, untuk bekerja menjadi pemandu lagu, tentu saja dengan iming-iming upah besar.
Awalnya ia menolak keberatan, takut ketahuan orang tua menjadi alasan utama.
Namun seperti tanpa jalan buntu beberapa hari kemudian penawaran hadir kembali dengan sebuah alternatif, ia di tawari luar kota sebagai domisili ganda, tinggal juga kerja.
Setelah melewati proses pertimbangan dan dirasa menguntungkan, maka diiyakannya tawaran tersebut.
Kerja dan tinggal jauh dari orang tuanya, berpamitan dusta kerja sebagai PRT di ibu kota.


Malam itu aku pulang tanpa pamit kepada yang lainnya, tak ada yang berkesan kecuali kisah-kisah Vira dan teman-temanya yang ia bagikan.
Ia sempat meminta nomorku, ia berujar kapan-kapan ingin membagikan apa yang sebenarnya ia rasakan, dan aku dipilih karna dinilai sebagai orang yang tidak menghakiminya secara sepihak.
Dua bulan sejak kejadian itu kini aku telah bekerja di sebuah perusahaan provider ternama di kota ku. Suatu hari saat jam makan siang sebuah nomor tak dikenal muncul di layar hapeku, sedikit terkejut karna dia mengaku Vira sang pemandu lagu.
Setelah berbasa-basi tanya kabar ia bercerita bahwa bulan depan ia akan dipindahkan ke kota lain di ujung utara pulau jawa.
Ia menjelaskan di tempatnya kerja ia sudah tak begitu laku, para pengunjung lebih banyak memilih para penyanyi pendatang baru, dalam sistem dunia kerjanya pindah tempat adalah sebuah terobosan, status pemain lama di tempat yang baru menjadikannya sebagai barang baru yang masih laku.
Kapasitas yang aku miliki membuatku tak bisa berbuat banyak tentang keputusannya.
Aku hanya termenung dan berandai, jika saja aku adalah pembuat kebijakan, akan kubuat suatu undang-undang yang mengatur tentang tempat hiburan malam, begitu khayalku saat itu.
Aku sadar efek buruk dari hiburan ini tidak hanya berdampak pada individu-individu seorang, namun menyangkut banyak hal, khususnya sindikat penjual pekerja dibawah umur yang jelas illegal, sex bebas, tempat bertumbuhnya alkohol dan narkotika.
Dari kisah Vira awalnya aku menilai terseretnya dia ke dunia hiburan ini karna permasalahan ekonomi.
Namun setelah kupikir berulang kali, ternyata bukan itu penyebabnya.
Vira memang terlahir dari keluarga miskin yg terjebak ke dalam pusaran dunia gelap yang menawarkan kemewahan, namun itu tak bisa di jadikan suatu pembenaran.
Banyak orang-orang dari keluarga ekonomi menengah kebawah, hidup susah dan sengsara, namun mereka tetap memperjuangkan hidupnya di jalur yang terhormat walaupun harus bersusah payah dan berdarah-darah.
Yang dilakukan Vira dan teman-temannya disebabkan karena kurangnya pehamaman terhadap pendidikan moral agama, akhirnya tercipta mental lemah yang selalu menginginkan sesuatu dengan cara instan.
Peran perhatian orang tua juga sangat diperlukan, pergaulan yang cenderung diberi kebebasan secara berlebihan akan berakibat fatal.
Biarkan seorang anak berjalan sesuai keinginanya, namun tetap ada batas pengawasan, beri ia ruang namun juga tetap ajarkan mereka arti sebuah keluarga dan kepedulian, jika sesuatu yang buruk dan berat terjadi maka rumah dan orang tua adalah sebenar-benarnya tempat untuk berpulang, bukan pergi dan tersesat ke dalam perilaku yang tidak sepatutnya dilakukan.
Tak lama setelah obrolanku di telpon dengan Vira, aku melihat sebuah berita di sosial media tentang demonstrasi besar-besaran yang terjadi di kotaku yang di lakukan oleh sebuah ormas keagamaan. Mereka menuntut untuk menutup tempat hiburan karaoke, selain banyak yang tidak memiliki izin resmi karaoke juga dianggap sebagai penyakit moral yang berbahaya.
“Apa Vira sudah menyiapakan kepindahanya jauh hari sebelumnya dan bersandiwara tentang apa yang ia ceritakan kepada ku waktu itu?” Pikirku setelah melihat berita yang cukup heboh tersebut.
Entahlah, semoga saja aksi demo yang telah diamini oleh bapak bupati dengan ditutupnya tempat-tempat hiburan yang membawa berkah kepada semua lapisan masyarakat tersebut.
Untuk Vira dan semua orang yang bernasib sama dengannya, semoga Allah memberi rejeki yang berkah kepada mereka, tidak seperti yang saat ini mereka lakukan. Aku yakin dalam lubuk hati kalian pasti ada keinginan untuk kembali ke jalan yang benar. Doaku menyertai kalian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DATANG PAS BUTUHNYA DOANG

Sedikit meluapkan tentang apa yg sudah lama saya resahkan. Menyoal relasi antara manusia dengan manusia Tentang realitas yang banyak terj...